DAMFAK FOLUSI TERHADA
Bayangkan Bumi dilanda demam hebat
berupa kenaikan temperatur 5,8 derajat Celcius merata terjadi di Jakarta, di Tokyo, di Kathmandu,
di London, di Johannesburg,
di Funafuti, di Beijing, dan New York. Ribuan orang terancam
penyakit mematikan seperti malaria dan flu burung. Daratan yang tadinya berupa pantai putih nan
elok atau dermaga kapal dan
pelabuhan berubah
menjadi tempat tinggal ikan dan
makhluk laut akibat peningkatan muka air laut 3-5 meter melanda semua pantai
di Bumi.
Belum lagi angin taifun, badai,
dan banjir yang terus mengisi halaman-halaman
koran. Semua bertutur
tentang kesengsaraan akibat berubahnya alam, akibat bencana
yang makin sering dan kian destruktif.
Prediksi-prediksi inilah yang coba
dijabarkan dalam berbagai hasil penelitian ilmiah sekitar 1.000 orang pakar dalam Panel Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) bentukan PBB. Hasil kajian terbaru
IPCC yang dirilis pada tahun 2007 bahkan menunjukkan bahwa memang manusia adalah penyebab dari 90 persen perubahan iklim.
Dengan kalimat sederhana, perubahan iklim muncul gara-gara aktifitas manusia yang menghasilkan gas rumah kaca lalu terjadilah
efek rumah kaca - terperangkapnya sinar matahari oleh gas rumah kaca di atmosfer
- sehingga suhu Bumi pun meningkat secara gradual.
Gas rumah kaca terdiri atas berbagai
jenis gas, namun yang
paling dominan dan berbahaya adalah gas karbon dioksida (CO2), yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil untuk
kebutuhan sektor energi dan transportasi.
Perubahan iklim tak lain hanya
mendesak terciptanya revolusi energi. Sebagai akar sekaligus inti dari revolusi
ini adalah perubahan bagaimana energi itu diproduksi,
didistribusikan, dan dikonsumsi.
Lima prinsip dasar yang harus menjiwai revolusi energi adalah; penerapan solusi energi terbarukan
(terutama lakukan dengan sistem energi
yang terdesentralisasi), menghormati
batas-batas kemampuan alam dan lingkungan,
menyingkirkan sumber-sumber
energi yang "kotor"
dan tidak berkesinambungan, penggunaan energi yang lebih adil, serta menurunkan
tingkat konsumsi energi berbahan bakar fosil.
Menurut laporan Greenpeace dan Dewan Energi
Terbarukan Eropa (EREC)
yang dirilis pada Januari 2007 lalu, sistem energi yang terdesentralisasi - di mana listrik dan
panas diproduksi berdekatan dengan pengguna akan menghindari
limbah energi selama konversi dan distribusi.
Sistem terdesentralisir ini bakal menjadi
titik utama revolusi energi, karena akan memenuhi
kebutuhan listrik sekitar dua miliar
orang yang saat ini belum mendapat
akses listrik.
Analisa Greenpeace dan EREC
menyebutkan skenario revolusi energi memprediksi bahwa dengan kenaikan GDP dunia sekitar 0,1
persen (pada periode 2003-2050) akan meningkatkan permintaan energi hingga 0,2 persen saja.
Target revolusi energi adalah menurunkan emisi emisi dunia
hingga 50 persen dari angka tahun
1990 pada tahun 2050 mendatang, dengan penurunan emisi karbon per kapita ke angka kurang
dari 1,3 ton per tahun agar
suhu global tetap di bawah plus 2 derajat Celcius.
Efisiensi energi, secara tak terbantahkan, membawa dampak berganda. Sebagai contoh adalah mesin pencuci baju
yang bisa hemat listrik dan hemat
air. Efisiensi juga kerap memberikan kadar kenyamanan
yang lebih tinggi. Rumah yang punya sirkulasi cukup baik akan
memberi rasa hangat pada musim
dingin, sejuk pada musim panas,
dan tentu saja lebih sehat
untuk kesehatan. Dengan kata lain
efisiensi menawarkan "sesuatu yang lebih dengan sesuatu yang lebih sedikit".
Dalam konteks perubahan iklim, efisiensi membawa potensi yang sangat besar. Dengan mengganti kulkas lama yang tidak hemat energi atau
mobil yang boros bahan bakar, tanpa
disadari penghematan itu berimbas terhadap
"seisi rumah",
"seisi mobil" bahkan "seluru
sistemtransportasi".
Tanpa tersadar pula, kelak energi yang dibutuhkan dapat terpangkas hingga 4-10 kali lipat daripada kondisi yang ada saat ini.
Sebagai contoh, berhemat dan efisien
dalam penggunaan energi akan
sangat besar efeknya bila benar-benar
dilakukan secara konsisten.
ECOFYS pada tahun 2006 memperkirakan sektor industri dengan sistem motor yang lebih efisien akan
menghemat 30-40 persen listrik. Sementara penghematan di
sektor rumah tangga bisa memangkas
kebutuhan listrik 30-80 persen. Penghematan penggunaan lampu bisa menghemat 30-50 persen pemakaian listrik, dan efisiensi
listrik selepas jam kerja bahkan dapat
menyimpan lebih dari 90 persen listrik yang tadinya dipakai (Ella Syafputri).